Tuesday, April 03, 2007


Opini Syafarudin
Foto: Susahnya Klo ngga ada jembatan... Oleh Aten Djou diambil dari fotografer.net

2 Februari 2006 lalu terbit sebuah opini di koran daerah LampungPost dari seorang dosen Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung. Namanya Syafarudin. Opini itu ia beri judul "Kemana Arah Pemerintahan Lampung?".
inti dari opini ini adalah tentang program pemekaran daerah yang bertaut dengan undang-undang otonomi daerah. kita tahu, bahwa Bangka Belitung, Banten, Aceh telah lebih dulu melakukan pemekaran. dan hebatnya mereka melakukan pemekaran itu atas "kemauan sendiri" bukan karena "desakan". Bagaimana dengan Lampung sendiri? dan apakah mampu memenuhi kebutuhan masyarakatnya? lebih baik kita cermati opini ini.


Ke mana Arah Pemerintahan Lampung?
Oleh Syafarudin, dosen Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung

Provinsi di ujung Pulau Sumatera dan didiami sekitar 6,5 juta jiwa ini agaknya lama "tidur lelap", berhenti "melompat", dan "berpikir visioner" menata kebutuhan pemerintahannya. Kurang lebih 41 tahun. Tepatnya, sejak Presiden Soekarno mengeluarkan UU No. 14 Tahun 1964 tanggal 18 Maret 1964 tentang Pembentukan Provinsi Lampung, yang memisahkan diri dari Provinsi Sumatera Selatan.

Dinamika pemerintahan yang kemudian bergulir di "bumi lada, kupi, cengkih" selama lima dasawarsa ini sifatnya cuma lokalistik. Ya, sekadar pemekaran desa, kecamatan, dan kabupaten. Sudah biasalah. Hasilnya, kini ada delapan kabupaten dan dua kota. Beberapa kabupaten baru, insya Allah, juga terbentuk. Prestasi ini juga penting. Sebab, kita perlu mengatasi rentang kendali, mendekatkan layanan publik, memberdayakan potensi lokal, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Pertanyaannya, dalam perspektif pemerintahan masa depan, apakah kita cukup puas dengan hasil penataan seperti ini? Apakah wujud kondisi pemerintahan lokal sekarang dapat menjawab kebutuhan perkembangan masyarakat, eksistensi lembaga mampu bersaing, dan dapat bertahan dari rekayasa pemerintahan pusat?

Perubahan dan berubah itu, kata Alvin Toffler, adalah sesuatu yang pasti. Hanya masalah waktu. Tinggal pilih, perubahan karena keinginan/kebutuhan kita, terpaksa karena desakan eksternal atau akibat keduanya.

Pemekaran Provinsi Aceh (NAD-Aceh Leuser) dan Provinsi Papua (Papua-Papua Barat) merupakan bentuk rekayasa Jakarta mengatasi konflik vertikal. Basis perlawanan kelompok sempalan dibuat cerai-berai, konflik diperkecil, dan digiring debat lokalistik. Pemekaran Provinsi Maluku (Maluku dan Maluku Utara) didesain untuk turut mengatasi konflik horizontal berbau SARA. Mungkin, sebentar lagi Poso menyusul dimekarkan. Pemerintah pusat memang pintar mewarisi dan menerapkan siasat kuno peninggalan pemerintahan kolonial Belanda.

Pembentukan Provinsi Bangka-Belitung (memisahkan diri dari Sumatera Selatan), Banten ("cerai" dari Jawa Barat), dan Kepri (tadinya bagian Riau) merupakan contoh perubahan yang didesain indah sejak lama oleh kalangan internal mereka (masyarakat, pemerintah, pengusaha, kampus, pers, politisi, dan stake holders).

Yang terbaru adalah tuntutan Provinsi Bali untuk mendapatkan otonomi khusus (otsus) dengan alasan Bali bertumpu dari penghasilan pariwisata budaya dan lingkungan. Menurut Ketua Bali Tourism Board, Ida Bagus Sudibya, otsus diperlukan Bali untuk mempertahankan keberadaan daerah ini sebagai suatu daerah wisata berbasis budaya dan lingkungan (Koran Tempo, 1-9-2005).

Mengikuti jejak Bali, tidak tanggung-tanggung, tujuh provinsi (NTB, NTT, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Utara, Bangka-Belitung, dan Kepri), menuntut pula otonomi khusus. Tuntutan tersebut diajukan agar pulau-pulau kecil di provinsi tersebut yang selama ini terabaikan memperoleh pemberdayaan.

Sebab itu, mereka mendesak amandemen UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pemerintah pusat diminta mengacu Deklarasi Juanda pada 1962 yang diakui internasional bahwa Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelago state).

Gagasan provinsi kepulauan tersebut sudah diluncurkan di Jakarta, pertengahan September lalu (Koran Tempo, 16-9-2005).

Tujuh provinsi kepulauan tersebut menilai dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK) yang diberikan pemerintah pusat selama ini kecil. Sebab, perhitungannya berdasar pikiran kontinental, yaitu penentuan formulanya hanya memperhitungkan luas wilayah daratan dan jumlah penduduk.

Sedangkan apabila diperlakukan khusus bisa memperoleh DAU dan DAK yang lebih besar hingga meningkat 75 persen. Selama ini, sesuai dengan definisi Departemen Kelautan dan Perikanan tujuh provinsi tersebut termasuk kriteria provinsi kepulauan. Namun, hanya sebatas kriteria. Tidak ada pengaruhnya yang menguntungkan provinsi kepulauan tersebut.

Pemekaran provinsi dan pembentukan kawasan khusus (otsus) sebenarnya tidak terlalu sukar. Dalam Pasal 5 dan Pasal 6 serta Penjelasan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan pembentukan provinsi baru hanya perlu memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan. Syarat administratif meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan Bupati/Walikota yang akan menjadi cakupan wilayah provinsi, persetujuan DPRD provinsi induk dan gubernur, serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri.

Syarat teknis meliputi faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Syarat fisik meliputi paling sedikit lima kabupaten/kota.

Pembentukan daerah pada dasarnya dimaksudkan meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat di samping sebagai sarana pendidikan politik di tingkat lokal.

Pemerintah dapat pula menetapkan kawasan khusus di daerah otonom untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat khusus dan untuk kepentingan nasional/berskala nasional. Pemerintah pusat wajib mengikutkan pemerintah daerah dalam pembentukan kawasan khusus tersebut. Demikianlah uraian amanat undang-undang.

Akhirnya, mau ke mana arah pemerintahan Provinsi Lampung mendatang? Tetap saja "mendengkur", berubah menggapai asa dengan keinginan sendiri, menunggu "sentuhan dan pembelahan" dari pusat sebagai "berkah" persaingan elite politik lokal yang terus menerus memelihara konflik karena ingin sama-sama berkuasa atau ada pilihan objektif yang lain?